CARA PEMBERIAN NASEHAT DAN CARA PEMBERIAN CONTOH PRIBADI
1.
CARA
PEMBERIAN NASEHAT
Menurut
Yeni Karneli dan Taufik (2002:73) nasehat berisi sesuatu yang hendaknya
dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang (klien). Dalam bertingkah laku
atau mengambil suatu keputusan barangkali dalam diri klien terdapat
kebingungan, dalam diri timbul pertanyaan apakah yang harus dilakukan atau
apakah dia melakukan “X” atau “Y”. Dalam kondisi ini konselor perlu memberi
nasehat, agar klien dapat memutuskan salah satu apa yang seharusnya ia lakukan.
Menurut
Munro, dkk (1983: 72) nasehat hanya diberikan bila diminta, dan bila melalui
usaha mendengarkan yang baik sehingga konselor benar-benar telah memahami
keadaan klien.
Apabila
nasehat diberikan, konselor hendaklah menyatakan semua alasan mengapa dia
merasa sesuatu pilihan tertentu adalah lebih baik bagi klien daripada
pilihan-pilihan yang lain. Dengan pemberian nasehat yang berarti melihat
hal-hal dari “arah baru” ini sekurang-kurangnya dapat memberi klien balikan
(umpan balik) tentang dirinya sendiri. Perhatikan contoh di bawah ini:
Klien : “walaupun semuanya sudah kita bicarakan,
saya tidak dapat memutuskan mana yang akan saya ambil. Biologi atau Kesenian.
Konselor:
“Ya: mengapa kamu tidak mencoba mengambil kesenian saja. Kamu mengambil dua
mata pelajaran dalam kelopok IPA dalam tahun ini, kamu mengatakan ingin
mempelajari bidang-bidang lain dan di samping itu kamu juga menyukai guru
kesenian”.
a. Kelebihan
Adapun kelebihan dari pemberian nasehat ini
adalah (Munro, dkk. 1983: 72):
Ø Membantu klien membuat keputusan, terutama bila
klien masih juga belum dapat mengambil kuputusan setelah melalui diskusi yang
mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut masalah yang dihadapi.
Ø Seringkali apa yang lebih diinginkan
seseorang menjadi semakin jelas bilamana orang lain memberikan nasihat untuk
melakukan sesuatu.
b. Kelemahan
Ø Pemberian nasehat terbuka bagi konselor untuk
bermain-main seolah-olah dia adalah seorang ahli.
Ø Pemberian nasehat juga dapat dipakai oleh
klien untuk melepaskan tanggungjawabnya sendiri atau menghindarkan diri dari masalah
yang sebenarnya.
Agar
nasehat yang diberikan konselor dapat efektif, sebaiknya tidak diberikan pada
awal konseling, tetapi diberikan setelah konselor-konselor benar-benar memahami
masalah klien (Yeni Karneli dan Taufik, 2002: 74). Konselor telah mengetahui
kebutuhan klien, dan melihat bahwa klien membutuhkan nasehat dari konselor.
Konselor
hendaknya memberikan nasehat setelah klien mengemukakan ide-ide dan perasaannya
yang berhubungan dengan masalah yang dialami klien. Setelah diberikan nasehat
dihrapkan klien dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, terutama dalam
mengatasi masalahnya.
Menurut
Tohirin (2011:343) hal yang harus diperhatikan dalam pemberian nasehat adalah
aspek kemandirian dalam konseling. Para penganut teori Client Centered
menyatakan bahwa apabila klien masih dinasihati berarti klien belum mandiri.
Dengan perkataan lain, pemberian nasehat tidak sesuai dengan hakikat
kemandirian dalam konseling. Jalan tengah yang ditawarkan adalah dalam
pemberian nasehat harus tetap dijaga agar tujuan konseling, yakni memandirikan
klien tetap tercapai.
Sofyan
(2010: 171) memberikan contoh respon konselor terhadap permintaan klien
berkaitan dengan pemberian nasehat, yaitu:
Ko : “apakah hal seperti ini pantas saya
untuk memberi nasehat saudara? Sebab, dalam hal seperti ini, saya yakin Anda
lebih berpengalaman dari pada saya”.
Atau seperti di bawah ini:
Ko : “sebelum saya memberi nasehat, saya
pikir dalam hal ini saudara lebih banyak mempunyai informasi dibanding saya”.
Perlu diingat dan disadari oleh konselor
bahwa nasehat yang diberikan ditinjau dari isi hendaknya mengandung tiga unsur
ketepatan, yaitu tepat isi, tepat cara, dan tepat waktu pemberiannya. Dengan
pemberian nasehat diharapkan klien merasa lebih “pasti” untuk mengambil
keputusan tertentu atau memilih cara tertentu. Hal ini sering membuat klien
termotivasi dan lebih jelas berusaha dalam mengatasi masalahnya. Di samping
itu, klien juga lebih siap menerima konsekuensi dari keputusan yang diambilnya.
2.
CARA
PEMBERIAN CONTOH PRIBADI
Kadang-kadang tampaknya dapat lebih
memberikan keyakinan dan mendorong klien jika dia mendengar dari konselor bahwa
konselor juga pernah mengalami masalah yang sama dan ternyata berhasil
mengatasinya (Munro, dkk. 1983:74).
Contoh-contoh pribadi dapat mengalihkan
perhatian dari klien dan memperlemah kedudukan klien sebagai titik pusat dalam
hubungan konseling.
Dalam contoh di bawah ini, konselor
menggunakan contoh pribadi secara singkat dan baik, dan kemudian segera
mengalihkan pembicaraan kembali kepada klien (Munro, dkk. 1983: 74):
Klien:
“saya tidak berani menghadapi kelompok, saya menjadi gugup dan lupa apa yang
akan saya katakan”.
Konselor:
“Ya, saya memahami perasaan itu. Saya juga pernah takut menghadapi kelompok,
dan hampir saja hal itu membuat saya gagal menjadi guru, tetapi saya yakin
bahwa apabila kita mencoba menggarap masalah itu, kamu akan berhasil mengatasi
rasa takut itu”.
SEMOGA MATERI INI BERMANFAAT BAGI TEMAN-TEMAN
BalasHapussebaiknya lampirkn juga referensinya pk
BalasHapus